Baca Bismillah dulu ya

Baca Bismillah dulu ya

this for someone that i love most

Sunday 20 April 2008

Taman Orang-orang Jatuh Cinta


Siapa sih orang yang nggak mau kisah cintanya di ridhoi sama Allah dan kemudian berakhir dengan indah di pelaminan. I really want it and i really dream about it...Tapi Tuhan Maha tahu kapan waktu yang tepat buat mia mencinta dan terutama lagi dicintai oleh makhluknya.Ini salah satu artikel indah yang mia temukan di milis, really inspiring.


Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau Al-Jauziyyah) sungguh menakjubkan. Ketika membaca buku terjemahan kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc .

Bagaimana tidak menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang yang jatuh cinta ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29 dst.). Hal-hal semacam ini jarang kami temui di buku-buku percintaan yang pernah kami baca.

Memang, sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada Allah” dan “cinta karena Allah” (hlm. 550). Namun, beliau ternyata juga membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan” (hlm. 607-665).

Di situ, kami jumpai istilah “pacaran” muncul tujuh kali, yaitu di halaman 617, 621 (lima kali), dan 658. Adapun istilah-istilah lain yang menunjukkan keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650), “gayung bersambut” (hlm. 613), “saling mengutarakan rasa cinta” (hlm. 620-621), “mengapeli” (hlm. 642-643), “berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.

Sekurang-kurangnya, kami jumpai ada sembilan contoh praktek pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, kami berusaha mengenali ciri khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin. Ini dia tujuh diantaranya:

1. mengutamakan akhirat
2. mencintai karena Allah
3. membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
4. menyimak kata-kata yang makruf
5. tidak menyentuh sang pacar
6. menjaga pandangan
7. seperti berpuasa

1) MENGUTAMAKAN AKHIRAT

Pada dua contoh, pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67, “Teman-teman akrab pada hari [kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang islam itu lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam kenikmatan ini bertentangan) .

Adapun pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12) menyatakan, “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya keleluasaan di hari kemudian.” (hlm. 918)

2) MENCINTAI KARENA ALLAH

Pada suatu contoh, diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun berbuat yang baik.” (hlm. 656)

‘Umar bin Bukair telah menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki pedalaman yang menceritakan pengalaman bercintanya:
Aku pernah jatuh cinta kepada seorang wanita selama beberapa tahun. Aku sering mengapelinya [yakni mengunjunginya] dan mengobrol dengannya tanpa melakukan suatu perbuatah pun yang mencurigakan (dinilai berdosa).

Namun suatu malam yang gelap kulihat telapak tangannya yang putih mulus, sehingga membuatku tidak tahan untuk memegangnya.
Begitu aku memegangnya, dia terkejut dan berkata: “Jangan lakukan ini! Jangan engkau rusak hubungan kita, karena sesungguhnya tidak sekali-kali birahi cinta dilampiaskan, melainkan pasti akan merusaknya.”
Aku pun bangkit menjauh darinya dengan keringat yang bercucuran karena malu. Sejak saat itu aku tidak berani lagi melakukan hal-hal yang semisal.
— — — —

Seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis dan cintanya ternyata bergayung sambut dari pihak sang gadis, sehingga berita percintaan keduanya telah tersiar.

Pada suatu hari mereka berduaan tanpa ada orang lain [di antara mereka], lalu sang pemuda berkata kepada kekasihnya: Marilah kita realisasikan apa yang telah dikatakan oleh orang-orang tentang kita.”

Sang gadis menjawab: “Tidak, demi Allah, jangan sampai hal itu terjadi, karena aku telah membaca firman-Nya: ‘Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.’ [QS. Az-Zukhruf (43): 67]
============ ===

Kutipan dari Ibnu Qayyim Al-Juziyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta & Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), sub-bab “Berbagai Hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri”, hlm. 642-643, dan sub-bab “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan”, hlm. 655.

DIarsipkan di bawah: 4 - Rengkuh ruh
« Contoh Pacaran Islami ala Ibnu Qayyim Al-Juziyah (7) Contoh Pacaran Islami ala Ibnu Qayyim Al-Juziyah (9) »

Syair tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya” (hlm. 550). Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?

Lantas, apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:

Yang dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)

3) MEMBUTUHKAN PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN

Pada suatu contoh, pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).

Pada satu contoh lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka, saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun yang dilakukannya di kalangan mereka” (hlm. 621).

4) MENYIMAK KATA-KATA YANG MAKRUF

Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair, maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair untuknya.” (hlm. 620)

Pada enam contoh,
‘Amir bin Hudzafah telah menceritakan kisah berikut:

Aku melihat di Shuhara seorang gadis yang sedang menempelkan pipinya di sebuah kuburan sambil menangis seraya mengucapkan bait-bait syair ….

‘Amir melanjutkan kisahnya bahwa sesudah itu dia menanyakan kepada gadis itu kuburan yang ditangisinya.

Ia menjawab: “Seorang pemuda yang menjadi kekasihku semenjak kecil.” Kemudian gadis itu kembali melantunkan bait-bait syairnya:

Dahulu kami bak sepasang merpati di sebuah sarang nan rindang
Kami hidup menikmati kesehatan dan masa muda kami
Namun kemudian zaman mencerai-beraikan segalanya hingga aku berpisah dengannya
Dan memang zaman itu selalu memisahkan orang-orang yang dicintai

‘Amir bin Hudzafah mengatakan bahwa dia hanyut dan ikut menangis sedih karena kelembutan syairnya, lalu gadis itu kembali melantunkan bait-bait syair berikut:

Kamu tangisi dia, padahal kamu tidak tahu keadaannya; maka aku sungguh akan memberitahu kepadamu tentang keadaannya dengan jelas.
Tiada seorang pun yang meminta kebajikan darinya, melainkan pasti akan diberi olehnya; tetapi jika diminta tolong, jadilah dia seorang pendekar yang pilih tanding.
Dia tidak pernah melirikkan matanya kepada tetangga, dan tidak pernah menggoda kaum wanita tetangganya yang cantik-cantik.
Dia seorang yang suci batinnya, begitu pula lahirnya; tetapi apabila haknya dianiaya, engkau lihat dia seorang yang tangguh dan perkasa menuntut haknya.
Aku [’Amir] bertanya: “Beritahukanlah kepadaku, siapa dia sebenarnya.”

Gadis itu menjawab: “Dia adalah Sinan bin Wabrah, sebagaimana yang dikatakan oleh penyair lain melalui bait syair berikut.”
Wahai orang yang meminta bantuan, untuk menolong bencana kaumnya;
cukuplah bagimu meminta bantuan, kepada Sinan nan dermawan
Gadis itu pun berkata: “Wahai orang yang tidak kukenal, demi Allah, seandainya engkau bukan orang yang asing, tentulah aku tidak akan menyenangkanmu dengan kisahku.”
Aku bertanya: “Bagaimanakah cintanya kepadamu?”
Ia menjawab: “Dia tidak pernah memberiku bantal bila aku tidur, kecuali hanya tangannya; dan aku berpacaran dengannya selama empat tahun, namun aku tidak pernah tidur menggunakan bantal, selain tangannya, kecuali dalam keadaan yang tidak mengizinkan baginya.”

============ ===

Kutipan dari Ibnu Qayyim Al-Juziyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta & Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), sub-bab “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan”, hlm. 657-658.

para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing melalui bait-bait syair yang indah dan menarik” (hlm. 620-621).

Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.” (hlm. 628)

‘Abdul Malik bin Marwan pernah bertanya kepada Laila Al-Ukhailiyah: “Demi Allah, apakah antara kamu dan [almarhum] kekasihmu pernah melakukan suatu dosa sehingga kamu mesti bertobat darinya?”
Laila menjawab: “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya dan Dia pun berkuasa untuk mencabut nyawaku, di antara aku dan dia tidak pernah terjadi perbuatan yang berdosa sama sekali. Hanya saja pada suatu hari ketika dia baru tiba dari perjalanannya, dia menjabat tanganku dan meremas-remasnya. Itu pun sudah kuanggap sebagai perbuatan yang tabu. Hal inilah yang kumaksudkan dalam bait-bait syairku yang berikut ini:

Berapa banyak keinginan [syahwat]-nya kepadaku, kukatakan kepadanya: “Jangan kau lampiaskan keinginan [syahwat]-mu.
Kamu tidak punya jalan untuk melampiaskannya selama aku masih hidup.
Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati;
dan engkau pun punya Pengawas pula, namun engkau kekasihku.”
Laila berkata: “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.”
— — — —

Ketika ‘Umar bin Abu Rabi’ah (penyair terkenal pada masa Bani Umayyah) menjelang kematiannya, al-Harits, saudaranya, menangisinya sehingga membuat ‘Umar berkata kepadanya: “Wahai saudaraku, jika engkau menyesaliku karena dalam bait syairku sering kukatakan bahwa aku merayu kekasihku dan dia balas merayuku, sebenarnya aku tidak pernah melakukan hal-hal yang diharamkan dengannya. …”

Setelah mendengar ucapan itu Al-Harits merasa lega dan berkata: “Segala puji bagi Allah SWT yang telah menyenangkan hatiku.”
============ ===

Kutipan dari Ibnu Qayyim Al-Juziyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta & Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), sub-bab “Berbagai Hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri”, hlm. 628 & 636-637.

DIarsipkan di bawah: 4 - Rengkuh ruh
« Contoh Pacaran Islami ala Ibnu Qayyim Al-Juziyah (2) Contoh Pacaran Islami ala Ibnu Qayyim Al-Juziyah (4) »

5) TIDAK MENYENTUH SANG PACAR
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu” (hlm. 628).
Pada dua contoh, pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. (hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya, pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias bersetubuh” (hlm. 621).

6) MENJAGA PANDANGAN

Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus (hlm. 617) yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat” kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan” (hlm. 241).

7) SEPERTI BERPUASA

Ibnu Qayyim menyimpulkan:

Demikianlah kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang mendorong mereka untuk memelihara kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa, kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)

Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini, seperti orang yang berpuasa dan menahan diri darinya buat nanti pada hari berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia bersua dengan Allah SWT. (hlm. 650-651)

Begitulah tujuh ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan kami. Bagaimana dengan Anda? Tolonglah beritahu kami apa saja ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan Anda!

Kami: Irsyad Baitus Salam, Bandung

No comments:

tHe SmiLe oF PrUPlAnnErs GirLs

tHe SmiLe oF PrUPlAnnErs GirLs

The Power Of C Family

The Power Of C Family
English Literature...Pakuan University